Gengsi vs. Kantong Bolong: Ketika Terseok-seok Hidup di Kota Besar
Pernahkah kita temui atau mendengar cerita tentang orang yang memaksakan hidup agar terlihat kaya? Sementara kondisi ekonominya lebih sering minus. Memaksakan membeli pakaian dan aksesoris dengan brand mahal dan tentu terkenal. Gaya hidup berlebihan, hedon, serta senang berfoya-foya. Bahkan sampai Mem-branding diri di dunia nyata maupun maya ngaku-ngaku lahir dari orang tua kaya.
Atau pernahkah kita sendiri yang ngerasa demikian?
merasa kecil dan gengsi di tengah lingkungan atau teman-teman yang ekonominya
di atas kita, lalu kita berbohong; bilang apapun di depan mereka supaya
terlihat setara? Mungkin kita pernah melakukannya. Perasaan gengsi atau yang
semacamnya itu muncul karena kita ingin diterima, dianggap bagian dari
teman-teman yang kaya itu. Kita merasa tidak aman jika teman-teman yang kaya
itu tahu kondisi ekonomi kita yang sebenarnya di bawah mereka.
Selintas aku melihat, fenomena seperti ini banyak terjadi
di kota-kota besar atau kota-kota metropolitan. Bukan tanpa alasan, sepanjang
aku bergaul dengan teman-teman dari berbagai kota, apalagi dari JABODETABEK, selalu
ada saja cerita orang gengsi untuk jujur dengan kondisi ekonomi seadanya dan
memilih hidup maksa terlihat kaya. Hidup dengan kondisi ekonomi yang
pas-pasan di tengah perkembangan, kemajuan dan kemegahan kota-kota besar
seperti di Jakarta, misal, jadi godaan buat keteguhan diri.
Hidup di kota
metropolitan itu tuntutannya lebih
besar dibanding di kota-kota lain. Setiap hari,
kita disuguhi pemandangan orang-orang dengan gaya hidup yang wah: mobil mewah, tas branded, kopi artisan, dan liburan ke luar
negeri. Tapi di tengah gemerlap itu, ada sebagian orang kejepit (ekonominya) tapi mentalnya kebanjiran gengsi.
Ini adalah gejala social
pressure yang akut, sebuah fenomena yang sudah lama dikaji psikolog
seperti Solomon Asch (1951) dalam eksperimen konformitasnya. Asch
membuktikan bahwa manusia cenderung mengikuti sikap, sudut pandang dan gaya hidup mayoritas, bahkan ketika mereka tahu itu salah.
Di kota besar,
identitas seseorang sering dinilai dari tampilan luar. Nggak heran kalau banyak
yang terjebak dalam lifestyle inflation—hidup seolah-olah sudah
sukses, padahal utang menumpuk. Konsep ini diperkuat oleh ekonom Robert H.
Frank dalam bukunya Luxury Fever (1999), yang menjelaskan
bagaimana orang rela mengorbankan kebutuhan dasar demi barang mewah agar
dianggap "setara" dengan lingkaran sosialnya.
Terlebih lagi, kebaradaan media
sosial pun memperparah keadaan. Sherry Turkle, profesor MIT, dalam Alone
Together (2011), menyebutkan bahwa platform digital membuat kita
terus-menerus membandingkan hidup dengan orang lain. Scroll Instagram, yang
muncul adalah teman liburan ke Bali, koleksi tas baru, atau dinner di restoran
bintang lima. Tanpa sadar, kita mulai merasa kurang.
Sebetulnya perihal ini aku bahasa karena beberapa waktu
kemarin sahabatku mendapat musibah. Ceritanya, pacarnya sahabatku men-doksing sekaligus
menuduh sahabatku ini telah menghamili si pacar dan kabur bareng selingkuhan
sahabatku, doksing dan tuduhan itu disebar di X a.k.a Twitter, kemudian viral. Tentu
sahabatku mengklarifikasi tidak melakukan itu semua. Salah satu bagian yang
paling berat bagi sahabatku adalah ketika pacarnya menyebut akun kampus tempat kami
kuliah dulu, tempat kerjan sahabtku yang dulu dan tempat kerjanya yang sekarang
di twitter.
Kejadian tersebut bikin sahabatku diberi SP dan di-off
sementara oleh atasannya. Ditambah sahabatku diminta agar pacarnya mau membuat
surat pengakuan kalau dirinya sudah membuat pernyataan palsu dan menyatakan atas
nama sahabatku tidak melakukan apa yang sudah dituduhkan. Singkat cerita
sahabatku pergi ke rumah si pacar dan di sana pacarnya tidak ada, hanya ada
bapaknya saja. Ternyata bapaknya tidak tahu kalau anak perempuan yang jadi
pacar sahabatku sudah melakukan hal tersebut. Lalu sahabatku meminta tolong
agar bapaknya saja yang membuat dan menandatangini surat yang diminta oleh atasan
sahabatku.
Ternyata ketika sampai di rumah si pacar sahabatku justru
malah kaget, bahkan hingga sahabatku pun merasa ketipu. Selain itu setelah
mengobrol-ngobrol dengan bapaknya si pacar. Sahabatku tambah syok. Selama ini si pacar dengan lihai menyusun kebohongan tentang latar belakang
keluarganya yang terlihat mapan. Ia mengklaim bahwa ayahnya punya showroom mobil
dan ibunya seorang pengusaha sekaligus pengelola kontrakan. Namun,
kenyataannya? Ayahnya hanyalah seorang supir bajaj yang harus berjuang memenuhi
target harian: seminimal-minimalnya Rp40.000—separuh untuk membayar
kontrakan yang mereka tinggali, separuh lagi dikirim ke istrinya (ibu si pacar)
yang enggak bekerja, hanya menunggu kiriman uang dari suaminya.
Bukan hanya
itu, si pacar juga kerap membanggakan tempat tinggalnya di perumahan
cluster. Ternyata, itu hanyalah ilusi. Rumah yang ia sebut sebagai
"miliknya" tak lebih dari sebuah kontrakan sederhana yang jauh dari
kesan elit. Sahabatku akhirnya paham mengapa selama ini ia selalu menolak
diantar hingga depan rumah—alasan
"takut
terlihat CCTV karena diantar cowok."
hanyalah kedok
untuk menutupi rasa malunya. Ia tak ingin kebenaran tentang kondisi keluarganya
yang sebenarnya terbongkar.
Menyadari semua
kebohongan ini, sahabatku pun menyimpulkan bahwa sang pacar mungkin terjebak
dalam tren dan arus kehisupan
kota metropolitan demi menjaga citra dan personal
branding. Bagaimana tidak? Di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya, ia
selalu tampil dengan memakai iPhone, sepatu branded, dan pakaian
yang stylish. Penampilannya yang flawless itu berhasil menciptakan ilusi
seolah si pacar lahir dari kalangan berada, sehingga sahabatku pun sempat percaya pada
semua omongannya.
Fenomena memaksakan hidup agar terlihat kaya—padahal
kondisi ekonomi sebenarnya pas-pasan atau bahkan minus—bukanlah hal baru,
terutama di kota-kota metropolitan seperti Jakarta. Tekanan sosial, gengsi, dan keinginan untuk diterima dalam
lingkaran tertentu sering kali menjadi pemicunya. Seperti yang dilakukan pacar
sahabatku.
Ini adalah
contoh nyata bagaimana social pressure dan lifestyle inflation bisa
menjebak seseorang dalam kebohongan yang berlapis. Dorongan untuk terlihat
"setara" dengan standar sosial di sekitarnya—ditambah pengaruh media
sosial yang memperbesar ilusi kesuksesan—membuatnya terus mempertahankan citra
fasad, meski harus mengorbankan kejujuran dan kenyamanan hidupnya sendiri.
Kasus ini juga
membuktikan teori Solomon Asch tentang konformitas dan analisis Robert H. Frank
soal obsesi barang mewah: manusia bisa melakukan hal irasional—bahkan merusak
hubungan—hanya demi diakui oleh lingkungannya. Tragisnya, ketika kebenaran
terbongkar, yang tersisa bukanlah pengakuan yang diidamkan, melainkan rasa
malu, kehilangan kepercayaan, dan konsekuensi yang lebih berat—seperti ancaman
karier sahabatku akibat fitnah viral.
Jadi, apa
pelajaran yang bisa diambil? Hidup dalam kepura-puraan hanya akan melukai
diri sendiri dan orang lain. Ketimbang terjebak dalam ilusi "terlihat
kaya", mungkin lebih baik berdamai dengan realita, mengelola gengsi, dan
memilih kejujuran—karena pada akhirnya, penerimaan yang sejati dimulai dari
menerima diri sendiri apa adanya.
Terakhir saya nanya bercanda ke sahabatku begini:
“Lur dari kejadian ini maneh punya tips mencari pasangan supaya
enggak ketipu sama orang yang ngaku2 anak konglo, enggak?”
Sahabatku jawab:
“Wkwkwk, tips nya adalah:
1. Minta kartu keluarga
2. minta ktp ortu
3. minta fotoin rumah
4. minta pakkaring / slip gaji ortu nya
Wkwkwkwk.”
Komentar
Posting Komentar