Circle Guru-guru SMP
![]() |
Circle Guru-guru di Tempat Kerjaku |
Begitulah sepengamatanku sepanjang
bekerja di sini. Hal menarik yang aku mau omongin di sini adalah tentang circle-circle
pertemanan di antar kami, guru-guru. Tulisan ini terinspirasi dari pembicaraan selewat
bareng Pak Lano dan Pak Dani, mereka guru SDIT Nurul Imam yang ngekost bareng Aidi.
Aku nanya begini,
“Tempat kalian mesantren dulu
basisnya apa? NU, Muhammadiyah, Persis, atau Salafi?”
“Pesantren kami modelannya kaya
gontor, jadi, berdiri di semua golongan gitu,” jawab Pak Lano.
“Wih, moderat ya,” sahutku
Berangkat dari obrolan itu aku mulai mengira-ngira, bertanya sendiri, apakah diriku sudah bersikap moderat di antara circle-circle guru SMP atau malah justru aku termasuk ke salah satu circle. Nah, daripada ga jelas mikirin pertanyaanku sendiri, kayanya lebih seru kalau ngebahas ada circle guru-guru siapa saja sih di SMP?
Sebelum aku ngomongin circle guru-guru SMP lebih jauh, aku mau memaparkan dulu kenapa kita atau manusia cenderung ber-circle-circle atau membuat kelompok-kelompok pertemanan.
Mengapa Manusia Cenderung Membentuk Kelompok Pertemanan?
Mari kita telusuri dulu mengapa
manusia—termasuk kami—cenderung membentuk kelompok pertemanan. Ternyata,
kecenderungan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan didorong oleh faktor
psikologis, sosial, bahkan evolusi.
1. Kebutuhan Dasar Manusia: "Kita Adalah Makhluk
Sosial"
Seperti kata Aristoteles ribuan tahun lalu, manusia
adalah zoon politicon—makhluk yang secara alamiah hidup dalam
kelompok. Psikolog sosial abad ini seperti Roy Baumeister & Mark Leary (1995) dalam
teori "Need to Belong" menyatakan bahwa manusia
memiliki dorongan fundamental untuk membentuk dan mempertahankan hubungan
sosial. Tanpa itu, kita rentan merasa terisolasi, cemas, bahkan berdampak
negatif pada kesehatan mental.
Di mana pun hal ini terlihat jelas dan lumrah bukan?
seseorang yang memiliki kesamaan minat atau latar
belakang—seperti hobi nongkrong di cafe, atau GoFood kopi bareng-bareng, diskusi pendidikan, atau sekadar
selera humor receh—lambat laun membentuk circle sendiri. Ini
bukan sekadar kebetulan, melainkan upaya memenuhi kebutuhan psikologis akan
rasa aman dan penerimaan.
2. Social Identity Theory: "Kita Butuh
Identitas Kelompok"
Henri Tajfel & John Turner (1979) berpendapat dalam
tulisannya, bahwa manusia cenderung mengelompokkan
diri ke dalam in-group (kelompok kita) dan out-group (kelompok
mereka) sebagai bagian dari pembentukan identitas sosial. Di lingkungan kerja
seperti sekolah, pengelompokan ini bisa muncul berdasarkan:
- Kesamaan
ideologi (misalnya, guru yang aktif berdiskusi tentang metode
pembelajaran tertentu).
- Kedekatan
fisik (guru yang sering ngopi bareng karena ruang guru mereka
bersebelahan).
- Kesuaian
kepribadian (guru humoris vs. guru yang lebih serius).
Sederhananya seperti ada sekumpulan orang yang lebih tertarik
untuk berdiskusi tentang isu-isu kekinian, sementara sekumpulan
yang lain lebih suka
obrolan ringan seperti film atau kuliner. Ini bukan berarti ada sekat kaku,
tapi lebih pada kecenderungan alami manusia untuk mencari semacam "sukunya" sendiri.
3. Homophily: "Kita Lebih Nyaman dengan
Orang yang Mirip Kita"
Riset dari bidang ilmu sosiologi McPherson et al., (2001) menunjukkan bahwa manusia cenderung
membentuk hubungan dengan orang yang memiliki kesamaan—baik nilai, minat, atau
pengalaman. Fenomena ini disebut homophily ("kecintaan
pada kesamaan").
Untuk hal ini kita dapat
melihatnya dari, misal:
- Nongkrong bareng karena kesamaan generasi.
- Atau bisa juga, guru agama yang intens membahas materi keislaman,
sementara guru sains lebih sering ngobrol soal eksperimen di kelas.
Sejalan dengan ini, Centola (2021) juga mengemukakan bahwa kelompok homogen cenderung
lebih solid, tapi berisiko membuat pertukaran ide kurang dinamis. Nah, di
sinilah tantangannya: bagaimana menjaga circle pertemanan
tanpa terjebak dalam echo chamber—hanya mendengar pendapat yang sama terus-menerus.
4. Survival Instinct: "Berkelompok itu
Menguntungkan"
Dari perspektif evolusi, Robin Dunbar (1998)—antropolog
terkenal dengan teori "Dunbar’s Number"—menjelaskan bahwa
otak manusia berevolusi untuk mengelola hubungan sosial dalam kelompok kecil
(sekitar 150 orang). Dalam konteks lingkungan modern, termasuk di sekolah, kelompok
pertemanan berfungsi sebagai:
- Dukungan
emosional.
- Jaringan
kolaborasi.
Faktor keempat ini aku lihat sebagai cara
agar bagaimana antar circle bisa saling membantu—kalau dalam
konteks di sekolah boleh jadi mulai dari berbagi modul ajar sampai sekadar mengingatkan untuk tidak
lupa absen.
Apa atau Siapa Saja Circle Guru-guru SMP
Setelah menelusuri berbagai teori atau gagasan, hasil
riset dan
memahaminya secara mendalam, ternyata aku menyadari bahwa keberadaan circle-circle pertemanan
adalah hal yang
alamiah—sebuah cerminan dari kebutuhan manusia akan rasa memiliki, identitas,
dan kolaborasi. Namun, tantangan terbesarnya adalah menjaga keseimbangan,
maksudnya, yaitu tetap
nyaman dalam kelompok kita tanpa terjebak dalam batasan-batasan yang akhirnya memisahkan hubungan dengan
dengan kelompok lain.
Mungkin di situlah letaknya hakikat
moderat; jadi bukan tentang tidak memiliki circle,
tapi tentang tetap terbuka dan sadar pentingnya kolaborasi. Bagiku, inilah yang membuat keberadaan
circle-circle bukan saja
tentang kesamaan, tapi
juga tentang memahami manusia—dengan segala kecenderungan alaminya untuk
berkelompok, sekaligus potensinya untuk saling terhubung.
Mohon maaf sebelumnya jika
pembahasan di atas terlalu panjang. Aku kira pembahasanya jadi agak melenceng. Sebetulnya
cukup banyak hasil-hasil riset yang kudapat, beserta gagasan seputar mengapa manusia cenderung membentuk
kelompok pertemanan. Namun rasanya terlalu bertele-tele. Di saat yang
sama terlalu lelah juga bila harus dituangkan dan dibahas semuanya di satu judul
ini.
Akan tidak fokus hasilnya karena
yang mau aku bahas yaitu tentang apa atau siapa saja circle guru-guru di tempat
kerjaku. Tapi biarlah hasilnya tidak fokus. Setelah dipikir-dipikir lagi
membahas circle guru-guru SMP terlalu berbahaya. Aku takut, misal, ketika bilang
circle guru A terdiri dari guru S, guru C, guru R, guru X, guru M dan guru A-nya
sendiri. Padahal ketika dikonfirmasi mereka tidak merasa bercircle. Nanti saya
yang kena omel.
Komentar
Posting Komentar