Circle Guru-guru SMP

Circle Guru-guru di Tempat Kerjaku

Hampir setahun aku mengajar di SMPIT Bilingual Nurul Imam. Sekolah yang letaknya dikelilingi oleh sawah ini punya murid-murid yang ekspresif (untuk tidak buru-buru bilang enggak mau diem dan berisik) meskipun tidak semua, tetapi tetap pintar, berbakat, dan unik. Begitupla dengan rekan-rekanku: guru-guru di sekolah ini, yang lucunya mereka punya selera humor yang receh-receh meski enggak semua (juga), misal kaya Aidi yang lebih kalem, kritis dan terlihat (sok) dewasa wkwkwk. Atau Pak Fathi yang kelihatanya lebih asik sama dunianya sendiri.

Begitulah sepengamatanku sepanjang bekerja di sini. Hal menarik yang aku mau omongin di sini adalah tentang circle-circle pertemanan di antar kami, guru-guru. Tulisan ini terinspirasi dari pembicaraan selewat bareng Pak Lano dan Pak Dani, mereka guru SDIT Nurul Imam yang ngekost bareng Aidi. Aku nanya begini,

“Tempat kalian mesantren dulu basisnya apa? NU, Muhammadiyah, Persis, atau Salafi?”

“Pesantren kami modelannya kaya gontor, jadi, berdiri di semua golongan gitu,” jawab Pak Lano.

“Wih, moderat ya,” sahutku

Berangkat dari obrolan itu aku mulai mengira-ngira, bertanya sendiri, apakah diriku sudah bersikap moderat di antara circle-circle guru SMP atau malah justru aku termasuk ke salah satu circle. Nah, daripada ga jelas mikirin pertanyaanku sendiri, kayanya lebih seru kalau ngebahas ada circle guru-guru siapa saja sih di SMP?

Sebelum aku ngomongin circle guru-guru SMP lebih jauh, aku mau memaparkan dulu kenapa kita atau manusia cenderung ber-circle-circle atau membuat kelompok-kelompok pertemanan.

Mengapa Manusia Cenderung Membentuk Kelompok Pertemanan?

Mari kita telusuri dulu mengapa manusia—termasuk kami—cenderung membentuk kelompok pertemanan. Ternyata, kecenderungan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan didorong oleh faktor psikologis, sosial, bahkan evolusi.

1. Kebutuhan Dasar Manusia: "Kita Adalah Makhluk Sosial"

Seperti kata Aristoteles ribuan tahun lalu, manusia adalah zoon politicon—makhluk yang secara alamiah hidup dalam kelompok. Psikolog sosial abad ini seperti Roy Baumeister & Mark Leary (1995) dalam teori "Need to Belong" menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan fundamental untuk membentuk dan mempertahankan hubungan sosial. Tanpa itu, kita rentan merasa terisolasi, cemas, bahkan berdampak negatif pada kesehatan mental.

Di mana pun hal ini terlihat jelas dan lumrah bukan? seseorang  yang memiliki kesamaan minat atau latar belakang—seperti hobi nongkrong di cafe, atau GoFood kopi bareng-bareng, diskusi pendidikan, atau sekadar selera humor receh—lambat laun membentuk circle sendiri. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan upaya memenuhi kebutuhan psikologis akan rasa aman dan penerimaan.

2. Social Identity Theory: "Kita Butuh Identitas Kelompok"

Henri Tajfel & John Turner (1979) berpendapat dalam tulisannya, bahwa manusia cenderung mengelompokkan diri ke dalam in-group (kelompok kita) dan out-group (kelompok mereka) sebagai bagian dari pembentukan identitas sosial. Di lingkungan kerja seperti sekolah, pengelompokan ini bisa muncul berdasarkan:

  • Kesamaan ideologi (misalnya, guru yang aktif berdiskusi tentang metode pembelajaran tertentu).
  • Kedekatan fisik (guru yang sering ngopi bareng karena ruang guru mereka bersebelahan).
  • Kesuaian kepribadian (guru humoris vs. guru yang lebih serius).

Sederhananya seperti ada sekumpulan orang yang lebih tertarik untuk berdiskusi tentang isu-isu kekinian, sementara sekumpulan yang lain lebih suka obrolan ringan seperti film atau kuliner. Ini bukan berarti ada sekat kaku, tapi lebih pada kecenderungan alami manusia untuk mencari semacam "sukunya" sendiri.

3. Homophily: "Kita Lebih Nyaman dengan Orang yang Mirip Kita"

Riset dari bidang ilmu sosiologi McPherson et al., (2001) menunjukkan bahwa manusia cenderung membentuk hubungan dengan orang yang memiliki kesamaan—baik nilai, minat, atau pengalaman. Fenomena ini disebut homophily ("kecintaan pada kesamaan").

Untuk hal ini kita dapat melihatnya dari, misal:

  • Nongkrong bareng karena kesamaan generasi.
  • Atau bisa juga, guru agama yang intens membahas materi keislaman, sementara guru sains lebih sering ngobrol soal eksperimen di kelas.

Sejalan dengan ini, Centola (2021) juga mengemukakan bahwa kelompok homogen cenderung lebih solid, tapi berisiko membuat pertukaran ide kurang dinamis. Nah, di sinilah tantangannya: bagaimana menjaga circle pertemanan tanpa terjebak dalam echo chamberhanya mendengar pendapat yang sama terus-menerus.

4. Survival Instinct: "Berkelompok itu Menguntungkan"

Dari perspektif evolusi, Robin Dunbar (1998)—antropolog terkenal dengan teori "Dunbar’s Number"—menjelaskan bahwa otak manusia berevolusi untuk mengelola hubungan sosial dalam kelompok kecil (sekitar 150 orang). Dalam konteks lingkungan modern, termasuk di sekolah, kelompok pertemanan berfungsi sebagai:

  • Dukungan emosional.
  • Jaringan kolaborasi.

Faktor keempat ini aku lihat sebagai cara agar bagaimana antar circle bisa saling membantu—kalau dalam konteks di sekolah boleh jadi mulai dari berbagi modul ajar sampai sekadar mengingatkan untuk tidak lupa absen.

Apa atau Siapa Saja Circle Guru-guru SMP

Setelah menelusuri berbagai teori atau gagasan, hasil riset dan memahaminya secara mendalam, ternyata aku menyadari bahwa keberadaan circle-circle pertemanan adalah hal yang alamiah—sebuah cerminan dari kebutuhan manusia akan rasa memiliki, identitas, dan kolaborasi. Namun, tantangan terbesarnya adalah menjaga keseimbangan, maksudnya, yaitu tetap nyaman dalam kelompok kita tanpa terjebak dalam batasan-batasan yang akhirnya  memisahkan hubungan dengan dengan kelompok lain.

Mungkin di situlah letaknya hakikat moderat; jadi bukan tentang tidak memiliki circle, tapi tentang tetap terbuka dan sadar pentingnya kolaborasi. Bagiku, inilah yang membuat keberadaan circle-circle bukan saja tentang kesamaan, tapi juga tentang memahami manusia—dengan segala kecenderungan alaminya untuk berkelompok, sekaligus potensinya untuk saling terhubung.

Mohon maaf sebelumnya jika pembahasan di atas terlalu panjang. Aku kira pembahasanya jadi agak melenceng. Sebetulnya cukup banyak hasil-hasil riset yang kudapat, beserta gagasan seputar mengapa manusia cenderung membentuk kelompok pertemanan. Namun rasanya terlalu bertele-tele. Di saat yang sama terlalu lelah juga bila harus dituangkan dan dibahas semuanya di satu judul ini.

Akan tidak fokus hasilnya karena yang mau aku bahas yaitu tentang apa atau siapa saja circle guru-guru di tempat kerjaku. Tapi biarlah hasilnya tidak fokus. Setelah dipikir-dipikir lagi membahas circle guru-guru SMP terlalu berbahaya. Aku takut, misal, ketika bilang circle guru A terdiri dari guru S, guru C, guru R, guru X, guru M dan guru A-nya sendiri. Padahal ketika dikonfirmasi mereka tidak merasa bercircle. Nanti saya yang kena omel.

 

Komentar

Postingan Populer